Tech News

header ads

Ayo, Simak Komentar Rasis Netizen Indonesia di Facebook TPNPB

Oleh: Everistus Kayep
photo baliem valley culture

Bukti Nasionalisme buta yang mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan dipertontonkan Netizen Indonesia. Bulu kuduk kita akan merinding ketika membaca berbagai komentar mereka di jejaring Facebook. Komentar rasis mereka mulai ramai sejak dua tahun terakhir, terhitung sejak para kombatan TPNPB dibawah komando Jack Millian Kemong di Tembagapura dan Egianus Kogoya di Nduga mengangkat senjata melawan dominasi Indonesia dan Amerika di Papua.

Komentar rasis mereka dengan mudah dijumpai di Facebook Pages Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB dan Facebook Group Tentara Nasional Indonesia, atau di setiap kolom komentar akun Facebook yang menyebarkan berita Nduga.

Mereka terbukti tidak terdidik dan tidak berbudi pekerti. Mereka bukan penganut Pancasila. Sejak Merdeka pada 1945, nilai-nilai luhur yang dikandung Pancasila tidak diserap dan dipraktekkan dalam hidup.

Memikul isi kepala yang kering kerontang tanpa rasa kemanusiaan akibat empedu sudah tidak terasa pahit, jari-jari mereka lincah mengetik status atau komentar bernada rasis yang merendahkan Orang Papua di papan tuts komputer, laptop, notebook atau layar gadget.

Mereka lupa sejarah bangsa sendiri. Lupa perjuangan Pangeran Diponegoro mengobrak-abrik pertahanan Belanda selama perang Jawa sehingga memaksa Belanda mengevaluasi diri dan mengkonsolidasikan kekuatan militernya menjadi KNIL.

Mereka lupa perjuangan Thomas Matulessy melawan imperialisme Belanda dalam monopoli rempah-rempah produksi bumi Maluku yang laku di pasar dunia. Atau Perjuangan Sultan Hasanudin yang dijuluki Belanda sebagai ‘Ayam Jantan dari Timur’.

Kata ejekan mereka, julukan atau personifikasi Orang Papua memenuhi tiga jenis Rasisme : Rasisme Legal, Rasisme Institusi dan Rasisme Personal.

Rasisme Legal mengambil ‘NKRI Harga Mati’ dan ‘Pembangunan’ sebagai ikon perjuangan. Rasisme Institusi menjadikan TNI dan Polisi sebagai simbol heroisme Indonesia yang harus dibela, lepas dari, untuk kasus Nduga saat ini, berapa rumah penduduk yang dibakar dan berapa jumlah warga sipil yang mengungsi ke hutan atau tempat lain.

Rasisme Personal menyerang person Papua yang digambarkan sebagai Monyet. Padahal, Monyet bukan binatang endemik Papua, terbukti dari tidak ada satu pun kata Monyet dalam bahasa daerah berbagai suku di Tanah Papua.

Dalam dua bulan terakhir, Rasisme Legal, Rasisme Institusional dan Rasisme Personal menyatu dengan opini publik dan ambisi Presiden Jokowi memaksakan pembangunan jalan Trans Papua di wilayah Kabupaten Nduga yang pekerjanya adalah personil TNI atau Sipil yang dijaga TNI-Polri.

Tidak memikirkan nasib rakyat yang mengidolakan dirinya, Jokowi menabuh genderang perang, sebuah operasi militer rasis yang dikemas dan disamarkan dengan tema : “Pengamanan Pembangunan Jalan Trans Papua”.

Mengapa Rasisme terkait dengan pembangunan jalan? Kita lihat sejarah Imperium Romawi. Bertahan dan menguasai hampir sebagian besar planet bumi, Imperium Romawi berjaya selama 500 tahun karena ‘Jalan Raya’.

Peta jalan yang memudahkan legiun Romawi mematahkan setiap gerakan pribumi jajahannya yang berjuang merdeka kini dikenal dengan ‘Peta Peutinger’ atau ‘Tabula Peutingeriana’ dalam bahasa Latin.

Jalan sepanjang lebih dari 80.000 kilometer ini menghubungkan semua daerah jajahan dengan pusat kekuasaan Romawi. Dari sini muncul pertama kali peribahasa ‘Banyak Jalan Menuju Roma’.

Salah satu catatan sejarah Romawi mengontrol wilayah jajahannya menggunakan ‘Jalan Raya’ dan menghukum mati pemberontak di tiang salib yang akrab dengan kita adalah cerita Yesus Kristus dalam empat Injil sinoptik. Hanya saja kisah tersebut banyak ditutupi kabut religius yang menyulitkan orang Papua menemukan analoginya dengan kondisi kini.

Ambisi menciptakan ‘Peta Peutinger’ di Papua, Rakyat Nduga dijadikan korban Rasisme oleh Presiden Jokowi. Pemimpin Papua dalam birokrasi NKRI dibuat tidak berkutik. Gubernur Lukas Enembe yang pertama kali mengkritik pekerjaan Jalan di Nduga yang di-handle TNI secara tiba-tiba dikejar dengan isu korupsi. KPK digunakan sebagai alat untuk memberangus pemimpin Papua.

Belakangan, Bupati Nduga Yairus Gwijangge dan Staf Khusus Presiden Pokja Papua Lenis Kogoya meminta pekerjaan jalan dihentikan untuk menstabilkan kondisi keamanan di Nduga. Kita lihat nanti, apa yang akan dialami oleh kedua Tokoh Papua ini. Tetapi, berbagai komentar bernuansa rasis yang merendahkan kedua tokoh ini sudah bertebaran di jejaring Facebook.

Sejarah mencatat, proyek jalan Trans Papua yang menimbulkan masalah di Nduga bukan yang pertama. Pada tahun 1995 silam saat era Presiden Soeharto, proyek Jalan yang dulu dikenal dengan nama Trans Irian rute Merauke – Pegunungan Bintang pernah dihentikan di Kampung Upkim tepatnya di Kali Komen.

Pekerja Jalan dan Tentara yang melindungi mereka diserang TPNPB Pimpinan Arnold Tumutu dibawah Komandan Operasi Tinus Okmokyap. Macet selama bertahun-tahun, proyek tersebut baru dilanjutkan kembali oleh Presiden Jokowi saat ini. Kisah proyek jalan yang macet di Upkim mirip dengan kasus Nduga saat ini. Hanya saja, Arnold Tumutu, Tinus Okmokyap, kombatan TPNPB dan Orang Papua tidak diejek dengan kata Monyet karena saat itu belum ada Facebook.

Sumber Post FB: Pace
@CoretanAktivisPapua

Post a Comment

0 Comments