Tech News

header ads

Budaya Baru “Goyang Patola” dan Nilai Seksisme Erotika

Coretan Kawan. Lagowan Checarson
Photo Goyang Patola/Ilustrasi
Entah apa dan bagaimana sampai sekarang orang Papua makin terancam mengalami degradasi nilai-nilai hidup kePapuaan dan Kesukuanya. Nilai-nilai hidup yang sudah sejak berabad-abad telah menjadi pedoman dasar leluhur moyang Papua kini mulai diambang kehancuran.

Apakah ini pertanda tanda kepunahan bangsa dan suku Papua yang dikenal sebagai suku pemilik pulau surga itu, kian dekat ? Bisa ya, dan nampaknya demikian. Bagaimana tidak segala sesuatu yang masuk dari luar dan yang di bawah oleh kalangan pendatang itu sudah dilihat dan diterima sebagai barang bagus yang mesti ditiru, ikuti dan diadopsi.

Bukan dalam hal nilai saja melainkan dari tindakan/perilaku orang Papua kini tidak bisa lagi dibendung. Banyak anak-anak muda kini mengikuti beragam tren mode yang masuk. Misalnya giatnya anak-anak muda pada pesta miras, narkotika, ganja dan bahkan Goyang patola.

Goyang patola kini jadi tren dominan dikalangan anak-anak kecil- dewasa yang mustinya di dalam otak mereka harus diinstal bahasa daerah; tarian daerah (yospan, kreasi, etai, wisisi, waita dst), seni dan budayanya. Kini malah marak diajarkan ke goyang patola. Ironis sekali karena gerakan dan goyangam patola itu pun diupload di berbagai media sosial yang ada. Kini viral bagaikan semua ingin mempertontonkan, memperhatikan betapa montoknya area selangkangan ke bawah yang digoyang naik turun. Nilai seksisme menjadi utama dalam pertunjukan itu.

Bukan tidak mungkin bahwa goyang patola secara tidak langsung telah memicu anak-anak dan bahkan para penonton untuk berpikir  ke arah pornografi, karena nilai seksisme tadi. Sebab jika tidak memuat unsur seksisme tak mungkin goyang patola itu menyebar bahkan selalu paling menarik perhatian publik medsos.

Bukan tidak mungkin pula hal-hal berbau erotik ini akan berakibat pada peningkatan resiko penularan HIV/AIDS akibat memicu seks bebas dan berbagai penyakit kelamin lainnya.

Agama dan peran para orang tua pun seperti sepi. Seakan mendukung penciptaan mode goyang yang tidak berbobot sama sekali itu. Ketika pengabaian terjadi, bukan tidak mungkin bahwa setiap goyang patola yang kian merebak ini akan menjadi perangsang pada berbagai tindakan pornografi akibat tontonan bokong yang memicu area erotisme di otak untuk mencari dan memenuhi nafsu seseorang.

Syukur jika habis goyang patola tidak diupload ke medsos. Tetapi jika banyak patola bergentayangan di medsos, maka tidak lain itu berarti umpan untuk mencari mangsa dengan “carper” untuk dimakan maupun memakan korban nantinya.*

Di tulis ulang dari blog blagowan.wordpress.com

Post a Comment

0 Comments